
Kenali FOPO Sebagai Istilah Yang Disebut Otoritas Jasa Keuangan Menjadi Penyebab Utama Penggunaan Fitur Paylater Yang Tidak Bijak. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah mencermati fenomena maraknya penggunaan layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih dikenal sebagai Paylater. Layanan ini, yang menawarkan kemudahan akses pembiayaan instan melalui berbagai platform e-commerce, memang menawarkan fleksibilitas. Namun, OJK mewaspadai adanya risiko serius yang ditimbulkan oleh pola konsumsi yang tidak terkendali.
Kepala Eksekutif OJK Frederica Widyasari Dewi memberikan sorotan tajam. Ia mengamati dominasi kelompok demografi tertentu dalam penggunaan BNPL. Data resmi memang belum dipublikasikan secara rinci. Namun, terlihat mayoritas pengguna Paylater adalah perempuan muda. Mereka berasal dari Generasi X dan Z. Peningkatan pemakaian di kalangan generasi muda ini sangat mencolok. Fenomena ini berpotensi memicu masalah utang konsumtif besar di masa depan. Khususnya, Gen Z perlu menjadi perhatian utama.
OJK menjelaskan bahwa peningkatan konsumsi melalui Paylater tidak terlepas dari era media sosial yang sarat akan budaya pamer dan perbandingan sosial. Selain istilah populer seperti FOMO (Fear Of Missing Out) atau YOLO (You Only Live Once), Kenali FOPO sebagai faktor psikologis terbaru yang mendorong individu berutang. FOPO, yang merupakan singkatan dari Fear of Other People Opinion, berarti ketakutan yang mendalam terhadap penilaian atau pandangan orang lain.
Fenomena FOPO menciptakan rasa tidak aman atau insecurity di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda. Mereka merasa terdorong untuk membeli barang-barang konsumtif, seperti pakaian baru atau gadget terbaru, hanya demi menghindari ejekan atau penilaian negatif dari lingkungan sosial. Dorongan ini seringkali membuat mereka mengambil utangan melalui BNPL tanpa mempertimbangkan kemampuan bayar atau kebutuhan riil.
Peran Media Sosial Dan Tekanan Sosial Dalam Konsumsi menjadi lingkungan subur bagi fenomena FOPO. Kepala OJK, yang akrab disapa Kiki, secara eksplisit menghubungkan lonjakan penggunaan fitur pembiayaan instan dengan budaya pamer di media sosial. Platform-platform digital menciptakan ruang perbandingan tanpa batas, di mana kepemilikan barang mewah atau terbaru sering kali menjadi tolok ukur kesuksesan atau status sosial.
Kiki menjelaskan bahwa efek psikologis yang ditimbulkan oleh tekanan sosial ini sangat kuat. Ketika seseorang merasa cemas atau terancam oleh penilaian orang lain, misalnya diejek karena menggunakan ponsel model lama atau mengenakan pakaian yang sama berulang kali. Maka hasrat untuk segera memenuhi standar sosial tersebut muncul. Hasrat ini diwujudkan melalui keputusan finansial yang tidak rasional. Individu didorong untuk segera mengambil pinjaman BNPL demi membeli barang-barang bersifat gaya hidup, seperti tas, pakaian bermerek, atau smartphone terbaru.
Hasilnya, penggunaan Paylater sering kali menyimpang dari tujuan seharusnya, yaitu pembiayaan untuk kebutuhan mendesak. Survei dalam Indonesia Millennial and Gen Z Report (IMGR) 2026 memperkuat temuan ini. Survei menunjukkan, 41 persen responden menggunakan BNPL karena telah berbelanja melebihi batas yang mereka tetapkan sendiri. Sementara itu, 39 persen menggunakannya untuk belanja yang berada di luar lingkup kebutuhan primer.
Data ini menggarisbawahi adanya dorongan konsumtif yang dipicu oleh faktor psikologis dan sosial. Fitur BNPL memang menawarkan kemudahan akses pembiayaan. Namun, kemudahan ini menjadi pedang bermata dua, apalagi saat dikombinasikan dengan FOPO. Alih-alih digunakan secara bijak untuk manajemen keuangan, Paylater justru menjadi alat untuk memuaskan hasrat gaya hidup yang didorong oleh ketakutan terhadap penilaian dari luar.
Menganalisis Dampak Kenali FOPO Pada Generasi Muda sangat penting untuk memahami kerentanan finansial yang muncul akibat tekanan sosial. Perbandingan antara kekhawatiran yang ditunjukkan Generasi Millennial dan Gen Z terhadap risiko Paylater menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam persepsi risiko. Perbedaan ini menjadi kunci untuk mengukur sejauh mana FOPO telah memengaruhi kehati-hatian finansial.
Data dari laporan IMGR 2026 menunjukkan bahwa Millennial memiliki tingkat kekhawatiran yang lebih tinggi terhadap risiko penggunaan BNPL. Sebanyak 34 persen responden Millennial menyatakan kekhawatiran mereka. Angka ini secara jelas lebih tinggi dibandingkan Gen Z. Hanya 26 persen responden Gen Z yang mengutarakan kekhawatiran serupa. Perbedaan persentase ini mengindikasikan bahwa Gen Z cenderung lebih santai atau kurang waspada terhadap potensi masalah utang jangka panjang yang ditimbulkan oleh kemudahan Paylater.
Kecenderungan Gen Z yang lebih berani mengambil risiko kredit ini dapat dijelaskan melalui faktor FOPO. Generasi ini tumbuh dalam lingkungan media sosial yang sangat intens. Mereka lebih sensitif terhadap tekanan untuk tampil sempurna dan sejalan dengan standar online. Dibandingkan Millennial yang mungkin memiliki prioritas finansial yang lebih stabil, Gen Z mungkin lebih mudah terdorong menggunakan Paylater demi mendapatkan validasi sosial melalui kepemilikan barang.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan tentang literasi keuangan di kalangan generasi muda. Ketika 52 persen responden percaya bahwa penggunaan BNPL mendorong pemborosan, namun penggunaannya tetap melonjak, ini menunjukkan disonansi kognitif. Hal ini membuktikan bahwa faktor emosional dan sosial, seperti yang diwakili oleh Kenali FOPO, seringkali mengalahkan logika finansial.
Menanggapi Ancaman Utang Konsumtif yang disoroti oleh OJK memerlukan tindakan preventif dan edukasi. Kesimpulan utama dari pengamatan OJK adalah bahwa kemudahan akses pembiayaan melalui Paylater telah dieksploitasi oleh faktor psikologis modern. Faktor utama pemicunya adalah Fear of Other People Opinion (FOPO). Fenomena ini menjadi biang keladi di balik keputusan finansial yang tidak bijak, terutama di kalangan perempuan muda dan Gen Z.
Penggunaan Paylater untuk membeli barang di luar kebutuhan dan melebihi batas belanja pribadi menunjukkan krisis pengendalian diri. Krisis ini berakar pada ketakutan akan penilaian sosial. OJK secara tegas menyarankan masyarakat untuk mulai membiasakan diri. Masyarakat harus terbiasa untuk tidak terganggu atau gusar dengan opini orang lain, khususnya yang berkaitan dengan gaya hidup dan kemewahan.
Perbedaan signifikan dalam tingkat kekhawatiran antara Millennial dan Gen Z merupakan alarm. Alarm ini menandakan Gen Z lebih rentan terhadap risiko BNPL karena kurangnya kehati-hatian. Kemudahan yang ditawarkan oleh aplikasi Paylater (seperti Shopee PayLater, GoPayLater, Kredivo, dan Akulaku) harus diimbangi dengan kesadaran penuh terhadap tanggung jawab utang. Ini menjadikannya alat yang harus digunakan secara hati-hati. Keputusan finansial yang buruk adalah konsekuensi langsung dari kegagalan melawan FOPO.
Oleh karena itu, melawan tekanan sosial untuk konsumsi adalah langkah krusial. Memprioritaskan kesehatan finansial jangka panjang daripada validasi sosial instan akan menjadi benteng pertahanan utama. Mengatasi masalah utang konsumtif secara efektif harus dimulai dengan Kenali FOPO.
Isu yang diangkat OJK mengenai FOPO dan Paylater menunjukkan relevansi nyata dalam konteks ketahanan ekonomi rumah tangga dan kebijakan perlindungan konsumen. Tragedi utang konsumtif di kalangan generasi muda memiliki implikasi serius terhadap stabilitas finansial masa depan dan tingkat kemiskinan.
Mewujudkan Ketahanan Finansial Melalui Pengendalian Dorongan Konsumtif adalah tujuan yang harus segera dicapai. Individu harus menyadari bahwa Paylater adalah bentuk utang, bukan sekadar metode pembayaran yang mudah. Penggunaan fitur ini harus dibatasi hanya untuk kebutuhan yang benar-benar mendesak atau produktif. Bukan untuk memuaskan hasrat sesaat yang dipicu oleh tren media sosial.
Lembaga keuangan dan regulator memiliki peran besar dalam mengedukasi publik. Selain itu, Lembaga pendidikan harus memasukkan modul literasi keuangan yang secara spesifik membahas psikologi konsumsi (termasuk FOPO dan FOMO) dalam kurikulum remaja.
Mengembangkan kecerdasan emosional dan finansial adalah kunci melawan tekanan sosial. Generasi muda harus belajar membedakan antara kebutuhan nyata dan keinginan yang dipicu oleh rasa insecure. Hanya dengan membiasakan diri untuk tidak terlalu mementingkan penilaian orang lain tentang status finansial, mereka dapat membuat keputusan yang sehat. Kekuatan untuk menahan godaan pembelian yang tidak perlu akan membebaskan mereka dari jebakan utang, yang bermula dari Kenali FOPO.